Monday, October 2, 2017

Makalah Pemikiran Gender di Indinesia

BAB I
PENDAHULUAN
          Terdapat dua istilah yang berkembang seiring perbedaan antara kaum adam dan hawa. Pertama adalah “sex” dan kedua adalah “gender”. Sex menunjukan fitrah dan kodrat yang memang bawaan lahir yang tak dapat dirubah. Sedangkan gender merupakan konstruksi sosial yang dibangun manusia di tengah budayanya. Yang kedua ini merupakan sasaran bagi kaum humanis dalam membangun kesetaraan antar manusia. Upaya-upaya ini pada akhirnya berimbas dan merambah pada agama sebagai subjek yang ikut dikaji dalam peranannya membangun konstruksi sosial berbau gender.
          Berbicara tentang Perempuan, tidak lepas dari perbincangan laki-laki sebagai pasangan yang telah di anugerahkan oleh Allah SWT, yang kemudian gerakan perempuan disebut dengan feminisme, siti Muslikhati menyebutkan “ feminisme pada umumnya merupakan perbincangan tentang bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan, serta bagaimana hak, status, dan kedudukan perempuan disektor domestik dan publik”
          Di Indonesia gerakan feminisme lebih dikenal dengan istilah emansipasi yang di kaitkan dengan tokoh perempuan R.A. Kartini. Adapun difinisi Feminisme adalah:
          ”Feminisme harus didefinisikan secara jelas dan lugas supaya tidak terjadi kesalah pahaman. Untuk keperluan itulah mereka mengajukan definisi yang menurutnya memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu suatu kesadaran akan penindasan dan (diskriminasi) terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga dan tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Oleh karena itu, selain sebagai gerakan, feminisme juga menjadi metode analisis (cara pandang) dalam menilai keberadaan wanita dalam sebuah masyarakat berikut pola relasinya”.



BAB II
PEMBAHASAN

          Dalam masa reformasi perempuan dengan berbagai gerakannya terus melakukan perubahan disegala bidang “dalam relasi gender, istilah ketimpangan gender sudah menjadi bahasa baku dimana sering dihubungkan dengan berbagai kondisi perempuan yang terpuruk, tertinggal, tersubordinasi,” Analisis gender merupakan cara pandang bagaimana antara relasi laki – laki dan perempuan harus memiliki timbangan yang setara, karena gender lahir bukan karena karena faktor biologis antara pria dan wanita, kecuali karena hanya merupakan kontruksi masyarakat.
          Salah satu agenda pokok dari pada feminisme adalah mewujudkan kesetaraan gender dimana laki-laki dan perempuan dapat berperan dalam wilayah domestik dan publik. Lebih lanjut Siti Muslikhati mengatakan ”Mainstream agenda feminisme adalah bagaimana mewujutkan kesetaraan gender secara kwantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di dalam maupun di luar rumah.” 

A.   CARA PANDANG KAUM FEMINIS

          Cara pandang kaum feminisme, bahwa adanya ketimpangan (ketidak adilan jender) merupakan sesuatu yang telah dikondisikan dan menjadi penglebelan oleh masyarakat atas dominasi laki-laki atas perempuan, Siti Muslikhati mengatakan :
          “Dalam perspektif feminis, spesisifikasi peran-peran manusia (laki-laki dan perempuan) dalam masyarakat di pandang timpang (tidak egaliter), artinya konstruksi social selama ini dianggap sangat menyudutkan kaum hawa. Menurut kaum feminisme, hegomoni laki-laki atas perempuan ini memperoleh legitimasi dari nilai-nilai social, agama, hukum Negara dan sebagainya serta tersosialisasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.”
Beberapa hal yang dianggap oleh Kaum Feminsmetidak menguntungkan perempuan yaitu :
1.     Perempuan berada dalam kondisi tersubordinasi oleh laki-laki terutama dalam pengambilan keputusan.
2.     Terjadi marginalisasi dalam arti aktifitas kerja wanita tidak produktif dan mempunyai nilai rendah.
3.     Terjadi penindasan pada perempuan karena beban pekerjaan yang lebih panjang dan berat.
4.     Sering terjadi kekerasan dan penyiksaan terhadap peerempuan secara fisik dan mental.

          Meskipun pergerakan perempuan timbul begitu banyak aliran sebagai pergerakan perjuangan akan hak hak wanita antara relasi laki-laki dan perempuan dengan menggunakan berbagai analisis, namun pada umumnya mempunyai kesamaan pandangan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dari keterpurukan disebabkan adanya berbagai ketimpangan.
          Kekerasan terhadap perempuan acapkali dsebut kekerasan berbasis gender sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan Tahun 1993 dan Rekomendasi No. 19 Komite Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Tahun 1992 menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi perempuan untuk menikmati hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
          Kekerasan berbasis gender terjadi jika tindak kekerasan di arahkan kepada perempuan atau sengaja ditujukan kepada seorang perempuan karena memang ia perempuan, atau ketika tindakan tersebut mempengaruhi perempuan secara tidak seimbang, yang secara serius menyebabkan terhambatnya kemampuan kaum perempuan untuk menikmati hak serta kebebasannya yang merupakan hak asasi manusia.
B.   MEMUNCAKNYA ISU GENDER DIINDONESIA
          Tidak menutup kemungkinan bahwa tafsir gender telah ada di era awal penafsiran Indonesia. Hanya saja belum berdiri sendiri dan masih menjadi bagian dalam penafsiranpenafsiran dengan tema sosial dan budaya. Tahun 1980-an merupakan tahun awal terbangun dan menggeliatnya kajian gender di Indonesia. Tentunya dengan tanpa meragukan adanya kemungkinan masuknya kajian gender pada tahun-tahun sebelumnya—Pada tahun ini, didirikan sebuah lembaga bernama PSW (Pusat Studi Wanita).
          Lembaga ini didirikan oleh pemerintah yang bekerjasama dengan berbagai lembaga universitas dengan bertujuan untuk meningkatkan kwalitas dan mengangkat harkat martabat wanita. Lembaga ini kemudian berkembang dengan mengusung ideologi kesetaraan antar kelamin yang pada akhirnya nanti menjadi motor pembuka isu gender di Indonesia.
          Kemudian pada 1989, Majalah Pesantren, LKPSM NU DIY mulai melirik isu ini untuk dijadikan salah satu kajian tersendiri. Berkembangnya wacana gender juga turut didukung oleh pihak luar berkenaan dengan kerjasama antara Indonesia-Belanda “Indonesian-Netherlands in Islamic Studies” di pusat kebudayaan Belanda Erasmushuis yang menggagas seminar tentang dunia wanita tekstual dan kontekstual pada 1991.
          Pada awal dekade 1990-an wacana gender semakin berkembang melalui dua pintu. Pintu pertama adalah adalah mahasiswa Indonesia yang kembali dari studi di luar negeri dan pintu kedua adalah penterjemahan karya-karya yang berbau feminis dan gender. Salah satu diantara karya yang masuk di Indonesia adalah tulisan Fatimah mernisi dan Amina Wadud Muhsin

          Sebagai sebuah pemikiran, posisi perempuan dalam peta pembaruan Islam di Indonesia telah muncul seiring dengan ide gerakan kebangkitan nasional. Pemikiran progresif yang pertama kali muncul dilontarkan oleh sebuah organisasi kecil perempuan yang bernama Natdatoel Fataat, sebuah organisasi yang didirikan di Yogyakarta oleh organisasi Islam Walfadjri.  
          Dalam kongres Perempuan 1928, organisasi ini melontarkan pemikiran yang sangat maju pada masa itu, yakni tentang perlunya pembaruan hukum perkawinan dalam Islam, misalnya tentang hak cerai bagi perempuan, usia nikah perempuan, perlindungan laki-laki terhadap keluarga dan sebagainya. Disamping itu, organisasi ini pun membela perempuan berambut pendek yang pada masa itu belum lazim bagi perempuan Muslim karena dipandang menyerupai laki-laki dan mendukung organisasi pandu puteri yang pada saat itu organisasi seperti Aisyiah-Muhammadiyah menolaknya.
          Dalam perkembangan berikutnya, ide tentang reformasi hukum Islam tentang perempuan dilontarkan oleh Munawir Sadjzali. Ia mengajukan pemikiran tentang Reaktualisasi Ajaran Islam di Indonesia tentang harta waris. Dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 11 dinyatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar dari anak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut, menurutnya, sudah banyak ditinggalkan praktiknya di Indonesia.
           Hal ini ia ketahui dari banyaknya laporan dari hakim agama di berbagai daerah, termasuk di daerah-daerah yang terkenal kuat Islamnya seperti Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan sewaktu ia menjabat sebagai Menteri Agama. Praktik serupa juga telah banyak ditinggalkan oleh sejumlah tokoh agama yang mempunyai ketinggian pengetahuan Islam dengan mempraktikkan kebijakan pre-emptive, yakni membagi harta benda yang dimiliki orang tuanya secara sama besar tanpa membedakan jenis kelamin ketika mereka masih hidup sebagai hibah. Dengan demikian, ketika orang tuanya meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit atau bahkan habis sama sekali.
          Ketimbang bermain-main dengan hukum agama, menurut Munawir Sadjzali, lebih baik ketentuan hukumnya harus diubah, yakni pembagian harta waris yang sama besarnya antara laki-laki dan perempuan tanpa ada pembedaan. Perubahan hukum ini tidak melanggar ajaran Islam, karena hukum Islam sendiri, menurut Munawir yang mengutip sejumlah ulama seperti Ibn Katsir, al-Maraghi, Rasyid Ridha dan Sayyid Quthb adalah untuk kepentingan manusia yang dapat berbeda karena perbedaan waktu dan tempat, situasi dan kondisi serta hukum yang lama dapat dibatalkan (naskh) oleh hukum yang baru.
          Selain para pemikir Muslim dari beberapa negara yang menginspirasi tumbuhnya gerakan perempuan dalam komunitas Muslim di Indonesia, beberapa pemikir Muslim Indonesia pun mengembangkan pemikiran yang mendorong bangkitnya gerakan perempuan. Ada beberapa faktor yang mendorong tumbuhnya upaya perubahan teologis pada saat itu.
          Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), sebuah lembaga yang memokuskan pada transformasi sosial dalam komunitas pesantren yang yang berbasis NU memiliki peran  penting dalam upaya perubahan teologis tersebut. Melalui program fiqhunnisa yang dipimpin oleh Masdar Farid Mas’udi dan Lies Marcoes, ia melakukan pendidikan dan pelatihan kepada tokoh-tokoh perempuan lokal yang berpengaruh, terutama para istri kyai (nyai) untuk menumbuhkan kesadaran gender tentang perlunya perubahan paradigma hubungan laki-laki dan perempuan. Masdar dalam hal ini tidak sekedar melakukan pendidikan dan pelatihan, ia pun juga melakukan reinterterpretasi teologis dengan menawarkan metodologi pentingnya memaknai kembali konsep ajaran yang bersifat universal (qath’i) dan partikular atau teknis operasional (juz’iyyah).
          Ajaran yang bersifat universal, menurutnya,  ajaran yang bersifat prinsip etik, seperti kebebasan manusia dan pertanggungjawaban individu (Qs. Al-Zalzalah (99): 7-8); ajaran mengenai kesetaraan manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan suku bangsa (Qs. Al-Hujurat 13); ajaran tentang keadilan (Qs. An-Nahl (16):90);  persamaan manusia di depan hukum (QS. Al-Maidah (5):8); ajaran untuk tidak merugikan diri sendiri dan orang lain (QS. Al-Baqarah (2):279); ajaran tentang kritik dan kontrol sosial (QS Al-Ashr (103): 1-3); ajaran untuk menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan (Qs. Al-Isra’ (17):34); ajaran untuk tolong menolong dalam kebaikan (Qs Al-Maidah (5):2); ajaran agar yang kuat melindungi yang lemah (Qs. Al-Nisa’ (4):75); ajaran untuk bermusyawarah (Qs. Al-Nisa’ (4): 75);  ajaran tentang kesetaraan suami istri dalam keluarga dan saling memperlakukan dengan santun diantara keduanya. (Qs. Al-Baqarah(2): 187;  Qs. Al-Nisa’ (4): 19). Semua ajaran-ajaran ini bersifat prinsipil dan fundamental, karena kebenarannya sesuai dengan ruang dan waktu yang bersifat universal.

C.   PEMAHAMAN TENTANG DISKRIMINASI BERBASIS GENDER.
          Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan menyebutkan diskrminasi terhadap perempuan adalah ”setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dbuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan”.
          Diskrimnasi berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, tidak hanya terbatas pada pembedaan perlakuan berdasarkan jenis kelamin, tetapi termasuk diskriminasi sebagai akibat dari asumsi sosial budaya negatif yang melekat kepada perempuan yang biasa disebut sebagai ideologi jender, kontruksi ideologis tentang peran dan kapasitas perempuan berakibat kepada akses perempuan menjadi tidak setara pada level individu, dan organisasi. Diskriminasi terjadi tidak terbatas pada wilayah kehidupan publik yaitu yang berhubungan secara langsung dengan negara, aparat, dan masyarakatnya serta di wilayah politik, ekonomi, sosial, kultural, dan lain-lain. Diskriminasi dapat pula terjadi dalam wilayah privat yaitu yang terjadi dalam hubungan persoalan individu dan keluarganya.


BAB III
PENUTUP
          Suatu negara harus mampu menegakkan kesetaraan genser. Gender seringkali disamakan pengertiannya dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan perbedaan biologis antara fisik laki-laki dengan perempuan yang dibawa sejak lahir sedangkan gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang diciptakan oleh sosial budaya yang panjang atau juga sifat.
 Kesetaran gender berguna untuk memberikan kesempatan setiap orang untuk berapreasiasi terhadap hal-hal yang terjadi disekitarnya. Kesetaraan gender berkaitan dengan keadilan gender.
Di indonesia sendiri keadilan gender sudah dibahas pada zaman soekarno dimana sudah muncul wacana atau  pun bahasan tentang kesetaraan gender dan keadilan gender. Dimana pada masa sekarang sudah adanya undang-undang tenatang keadilan  hak manusia




DAFTAR PUSTAKA







No comments:

Post a Comment