BAB
I
PENDAHULUAN
Terdapat dua istilah
yang berkembang seiring perbedaan antara kaum adam dan hawa. Pertama adalah
“sex” dan kedua adalah “gender”. Sex menunjukan fitrah dan kodrat yang memang
bawaan lahir yang tak dapat dirubah. Sedangkan gender merupakan konstruksi sosial
yang dibangun manusia di tengah budayanya. Yang kedua ini merupakan sasaran
bagi kaum humanis dalam membangun kesetaraan antar manusia. Upaya-upaya ini
pada akhirnya berimbas dan merambah pada agama sebagai subjek yang ikut dikaji
dalam peranannya membangun konstruksi sosial berbau gender.
Berbicara tentang
Perempuan, tidak lepas dari perbincangan laki-laki sebagai pasangan yang telah
di anugerahkan oleh Allah SWT, yang kemudian gerakan perempuan disebut dengan
feminisme, siti Muslikhati menyebutkan “ feminisme pada umumnya merupakan
perbincangan tentang bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan, serta
bagaimana hak, status, dan kedudukan perempuan disektor domestik dan
publik”
Di Indonesia gerakan feminisme lebih
dikenal dengan istilah emansipasi yang di kaitkan dengan tokoh perempuan R.A.
Kartini. Adapun difinisi Feminisme adalah:
”Feminisme harus didefinisikan
secara jelas dan lugas supaya tidak terjadi kesalah pahaman. Untuk keperluan
itulah mereka mengajukan definisi yang menurutnya memiliki pengertian yang
lebih luas, yaitu suatu kesadaran akan penindasan dan (diskriminasi) terhadap
perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga dan tindakan
sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Oleh
karena itu, selain sebagai gerakan, feminisme juga menjadi metode analisis
(cara pandang) dalam menilai keberadaan wanita dalam sebuah masyarakat
berikut pola relasinya”.
BAB
II
PEMBAHASAN
Dalam
masa reformasi perempuan dengan berbagai gerakannya terus melakukan perubahan
disegala bidang “dalam relasi gender, istilah ketimpangan gender sudah
menjadi bahasa baku dimana sering dihubungkan dengan berbagai kondisi perempuan
yang terpuruk, tertinggal, tersubordinasi,” Analisis gender merupakan cara
pandang bagaimana antara relasi laki – laki dan perempuan harus memiliki
timbangan yang setara, karena gender lahir bukan karena karena faktor biologis
antara pria dan wanita, kecuali karena hanya merupakan kontruksi masyarakat.
Salah
satu agenda pokok dari pada feminisme adalah mewujudkan kesetaraan gender
dimana laki-laki dan perempuan dapat berperan dalam wilayah domestik dan
publik. Lebih lanjut Siti Muslikhati mengatakan ”Mainstream agenda feminisme
adalah bagaimana mewujutkan kesetaraan gender secara kwantitatif, yaitu pria
dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di dalam maupun di luar
rumah.”
A.
CARA PANDANG KAUM FEMINIS
Cara
pandang kaum feminisme, bahwa adanya ketimpangan (ketidak adilan jender) merupakan
sesuatu yang telah dikondisikan dan menjadi penglebelan oleh masyarakat atas
dominasi laki-laki atas perempuan, Siti Muslikhati mengatakan :
“Dalam
perspektif feminis, spesisifikasi peran-peran manusia (laki-laki dan perempuan)
dalam masyarakat di pandang timpang (tidak egaliter), artinya konstruksi social
selama ini dianggap sangat menyudutkan kaum hawa. Menurut kaum feminisme,
hegomoni laki-laki atas perempuan ini memperoleh legitimasi dari
nilai-nilai social, agama, hukum Negara dan sebagainya serta tersosialisasikan
secara turun temurun dari generasi ke generasi.”
Beberapa
hal yang dianggap oleh Kaum Feminsmetidak menguntungkan perempuan
yaitu :
1. Perempuan berada dalam kondisi tersubordinasi
oleh laki-laki terutama dalam pengambilan keputusan.
2. Terjadi marginalisasi dalam arti aktifitas kerja
wanita tidak produktif dan mempunyai nilai rendah.
3. Terjadi penindasan pada perempuan karena beban
pekerjaan yang lebih panjang dan berat.
4. Sering terjadi kekerasan dan penyiksaan terhadap
peerempuan secara fisik dan mental.
Meskipun pergerakan perempuan timbul begitu banyak
aliran sebagai pergerakan perjuangan akan hak hak wanita antara relasi
laki-laki dan perempuan dengan menggunakan berbagai analisis, namun pada
umumnya mempunyai kesamaan pandangan dalam memperjuangkan hak-hak
perempuan dari keterpurukan disebabkan adanya berbagai ketimpangan.
Kekerasan terhadap perempuan acapkali
dsebut kekerasan berbasis gender sebagaimana tercantum dalam Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan Tahun 1993 dan Rekomendasi No. 19
Komite Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Tahun
1992 menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk
diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi perempuan untuk menikmati hak
dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
Kekerasan berbasis gender terjadi jika
tindak kekerasan di arahkan kepada perempuan atau sengaja ditujukan kepada
seorang perempuan karena memang ia perempuan, atau ketika tindakan tersebut
mempengaruhi perempuan secara tidak seimbang, yang secara serius menyebabkan
terhambatnya kemampuan kaum perempuan untuk menikmati hak serta kebebasannya
yang merupakan hak asasi manusia.
B.
MEMUNCAKNYA ISU GENDER DIINDONESIA
Tidak
menutup kemungkinan bahwa tafsir gender telah ada di era awal penafsiran Indonesia.
Hanya saja belum berdiri sendiri dan masih menjadi bagian dalam
penafsiranpenafsiran dengan tema sosial dan budaya. Tahun 1980-an merupakan
tahun awal terbangun dan menggeliatnya kajian gender di Indonesia. Tentunya
dengan tanpa meragukan adanya kemungkinan masuknya kajian gender pada
tahun-tahun sebelumnya—Pada tahun ini, didirikan sebuah lembaga bernama PSW
(Pusat Studi Wanita).
Lembaga
ini didirikan oleh pemerintah yang bekerjasama dengan berbagai lembaga
universitas dengan bertujuan untuk meningkatkan kwalitas dan mengangkat harkat
martabat wanita. Lembaga ini kemudian berkembang dengan mengusung ideologi
kesetaraan antar kelamin yang pada akhirnya nanti menjadi motor pembuka isu
gender di Indonesia.
Kemudian
pada 1989, Majalah Pesantren, LKPSM NU DIY mulai melirik isu ini untuk dijadikan
salah satu kajian tersendiri. Berkembangnya wacana gender juga turut didukung
oleh pihak luar berkenaan dengan kerjasama antara Indonesia-Belanda “Indonesian-Netherlands
in Islamic Studies” di pusat kebudayaan Belanda Erasmushuis yang
menggagas seminar tentang dunia wanita tekstual dan kontekstual pada 1991.
Pada awal
dekade 1990-an wacana gender semakin berkembang melalui dua pintu. Pintu
pertama adalah adalah mahasiswa Indonesia yang kembali dari studi di luar
negeri dan pintu kedua adalah penterjemahan karya-karya yang berbau feminis dan
gender. Salah satu diantara karya yang masuk di Indonesia adalah tulisan
Fatimah mernisi dan Amina Wadud Muhsin
Sebagai sebuah pemikiran, posisi
perempuan dalam peta pembaruan Islam di Indonesia telah muncul seiring dengan
ide gerakan kebangkitan nasional. Pemikiran progresif yang pertama kali muncul
dilontarkan oleh sebuah organisasi kecil perempuan yang bernama Natdatoel
Fataat, sebuah organisasi yang didirikan di Yogyakarta oleh organisasi
Islam Walfadjri.
Dalam kongres Perempuan 1928,
organisasi ini melontarkan pemikiran yang sangat maju pada masa itu, yakni
tentang perlunya pembaruan hukum perkawinan dalam Islam, misalnya tentang hak
cerai bagi perempuan, usia nikah perempuan, perlindungan laki-laki terhadap
keluarga dan sebagainya. Disamping itu, organisasi ini pun membela perempuan
berambut pendek yang pada masa itu belum lazim bagi perempuan Muslim karena
dipandang menyerupai laki-laki dan mendukung organisasi pandu puteri yang pada
saat itu organisasi seperti Aisyiah-Muhammadiyah menolaknya.
Dalam perkembangan berikutnya, ide
tentang reformasi hukum Islam tentang perempuan dilontarkan oleh Munawir
Sadjzali. Ia mengajukan pemikiran tentang Reaktualisasi Ajaran
Islam di Indonesia tentang harta waris. Dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat
11 dinyatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar dari anak
perempuan. Tetapi ketentuan tersebut, menurutnya, sudah banyak ditinggalkan praktiknya
di Indonesia.
Hal ini ia ketahui dari banyaknya laporan dari
hakim agama di berbagai daerah, termasuk di daerah-daerah yang terkenal kuat
Islamnya seperti Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan sewaktu ia menjabat
sebagai Menteri Agama. Praktik serupa juga telah banyak ditinggalkan oleh
sejumlah tokoh agama yang mempunyai ketinggian pengetahuan Islam dengan
mempraktikkan kebijakan pre-emptive, yakni membagi harta benda yang
dimiliki orang tuanya secara sama besar tanpa membedakan jenis kelamin ketika
mereka masih hidup sebagai hibah. Dengan demikian, ketika orang tuanya
meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit atau bahkan habis sama
sekali.
Ketimbang bermain-main dengan hukum
agama, menurut Munawir Sadjzali, lebih baik ketentuan hukumnya harus diubah,
yakni pembagian harta waris yang sama besarnya antara laki-laki dan perempuan
tanpa ada pembedaan. Perubahan hukum ini tidak melanggar ajaran Islam, karena
hukum Islam sendiri, menurut Munawir yang mengutip sejumlah ulama seperti Ibn
Katsir, al-Maraghi, Rasyid Ridha dan Sayyid Quthb adalah untuk kepentingan
manusia yang dapat berbeda karena perbedaan waktu dan tempat, situasi dan
kondisi serta hukum yang lama dapat dibatalkan (naskh) oleh hukum yang baru.
Selain para pemikir Muslim dari
beberapa negara yang menginspirasi tumbuhnya gerakan perempuan dalam komunitas
Muslim di Indonesia, beberapa pemikir Muslim Indonesia pun mengembangkan
pemikiran yang mendorong bangkitnya gerakan perempuan. Ada beberapa faktor yang
mendorong tumbuhnya upaya perubahan teologis pada saat itu.
Lembaga
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), sebuah lembaga yang
memokuskan pada transformasi sosial dalam komunitas pesantren yang yang
berbasis NU memiliki peran penting dalam upaya perubahan teologis
tersebut. Melalui program fiqhunnisa yang dipimpin oleh Masdar
Farid Mas’udi dan Lies Marcoes, ia melakukan pendidikan dan pelatihan kepada
tokoh-tokoh perempuan lokal yang berpengaruh, terutama para istri kyai (nyai)
untuk menumbuhkan kesadaran gender tentang perlunya perubahan paradigma
hubungan laki-laki dan perempuan. Masdar dalam hal ini tidak sekedar melakukan
pendidikan dan pelatihan, ia pun juga melakukan reinterterpretasi teologis
dengan menawarkan metodologi pentingnya memaknai kembali konsep ajaran yang
bersifat universal (qath’i) dan partikular atau teknis operasional (juz’iyyah).
Ajaran
yang bersifat universal, menurutnya, ajaran yang bersifat prinsip etik,
seperti kebebasan manusia dan pertanggungjawaban individu (Qs. Al-Zalzalah
(99): 7-8); ajaran mengenai kesetaraan manusia tanpa memandang perbedaan jenis
kelamin, warna kulit dan suku bangsa (Qs. Al-Hujurat 13); ajaran tentang
keadilan (Qs. An-Nahl (16):90); persamaan manusia di depan hukum (QS.
Al-Maidah (5):8); ajaran untuk tidak merugikan diri sendiri dan orang lain (QS.
Al-Baqarah (2):279); ajaran tentang kritik dan kontrol sosial (QS Al-Ashr
(103): 1-3); ajaran untuk menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan (Qs.
Al-Isra’ (17):34); ajaran untuk tolong menolong dalam kebaikan (Qs Al-Maidah
(5):2); ajaran agar yang kuat melindungi yang lemah (Qs. Al-Nisa’ (4):75);
ajaran untuk bermusyawarah (Qs. Al-Nisa’ (4): 75); ajaran tentang kesetaraan
suami istri dalam keluarga dan saling memperlakukan dengan santun diantara
keduanya. (Qs. Al-Baqarah(2): 187; Qs. Al-Nisa’ (4): 19). Semua
ajaran-ajaran ini bersifat prinsipil dan fundamental, karena kebenarannya
sesuai dengan ruang dan waktu yang bersifat universal.
C.
PEMAHAMAN TENTANG DISKRIMINASI BERBASIS GENDER.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 Tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
perempuan menyebutkan diskrminasi terhadap perempuan adalah ”setiap pembedaan,
pengucilan, atau pembatasan yang dbuat atas dasar jenis kelamin, yang
mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum
wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan
antara laki-laki dan perempuan”.
Diskrimnasi berdasarkan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1984, tidak hanya terbatas pada pembedaan perlakuan berdasarkan
jenis kelamin, tetapi termasuk diskriminasi sebagai akibat dari asumsi sosial
budaya negatif yang melekat kepada perempuan yang biasa disebut sebagai
ideologi jender, kontruksi ideologis tentang peran dan kapasitas perempuan
berakibat kepada akses perempuan menjadi tidak setara pada level individu, dan
organisasi. Diskriminasi terjadi tidak terbatas pada wilayah kehidupan publik
yaitu yang berhubungan secara langsung dengan negara, aparat, dan masyarakatnya
serta di wilayah politik, ekonomi, sosial, kultural, dan lain-lain.
Diskriminasi dapat pula terjadi dalam wilayah privat yaitu yang terjadi
dalam hubungan persoalan individu dan keluarganya.
BAB III
PENUTUP
Suatu negara harus mampu menegakkan
kesetaraan genser. Gender seringkali disamakan pengertiannya dengan jenis
kelamin. Jenis kelamin merupakan perbedaan biologis antara fisik laki-laki
dengan perempuan yang dibawa sejak lahir sedangkan gender merupakan perbedaan
jenis kelamin yang diciptakan oleh sosial budaya yang panjang atau juga sifat.
Kesetaran gender berguna untuk memberikan
kesempatan setiap orang untuk berapreasiasi terhadap hal-hal yang terjadi
disekitarnya. Kesetaraan gender berkaitan dengan keadilan gender.
Di indonesia
sendiri keadilan gender sudah dibahas pada zaman soekarno dimana sudah muncul
wacana atau pun bahasan tentang
kesetaraan gender dan keadilan gender. Dimana pada masa sekarang sudah adanya
undang-undang tenatang keadilan hak
manusia
DAFTAR
PUSTAKA
|
No comments:
Post a Comment