PENDAHULUAN
Suwardi
Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara lahir pada
tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton
Yogyakarta. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat, putra Kanjeng
Gusti Pangeran Hadipati Hardjo Surjosasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam
III Beliau adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi,
dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi indonesia dari zaman penjajahan
Belanda.
Ia
adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan
seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pernah ia di buang ke
negeri Belanda oleh pemerintah Belanda dari tanggal 6 September 1913 sampai
dengan 5 September 1919, karena kritik pedasnya pada pemerintah Hindia Belanda
saat itu. Karena pengabdian dan prestasinya yang besar dalam bidang pendidikan,
beliau menjadi menteri pendidikan Indonesia yang pertama pada tahun 1956 di era
pemerintahan Soekarno.
Beliau
wafat pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan dengan pemakaman negara secara
militer serta diangkat menjadi Perwira Tinggi oleh pemerintah. Beliau kini
dikenang sebagai Bapak Pendidikan bangsa Indonesia. Dan pemerintah Republik
Indonesia kemudian menetapkan hari lahirnya, tanggal 2 Mei sebagai Hari
Pendidikan Nasional.
RESENSI
A.Sejarah Ringkas Perjuangan KI Hadjar Dewantara
Ki
Hadjar dewantara memulai karier perjuangan di lapangan jurnalistik yang
dipergunakan sebagai alat memberikan pendidikan politik kepada rakyat melalui
tulisan-tulisannya yang berisi cita-cita perjuangnya, di harian Sedyo Utomo di
Jakarta sebagaii pembantu, harian bahasa Belanda “Middenjava” di
Semarang. Kemudian pindah ke Bandung menjadi Koresponden “De
Expres” pimpinan Dowesdekker. Harian De Expres dan
majalah Het Tijdschrif di Bandung pimpinan Dowesdekker menjadi
pelopor lahirnya partai politik “Indschepartji” yang merupakan partai
politik pertama yang tujuannya adalah Indonesia merdeka yang berdaulat,
demokrasi serta kewarganegaraannya yang tidak membedakan asal kebangsaannya,
asal mengakui Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Pada tahun 1913
partai ini dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda karena memberikan kritikan
tajam terhadap kebijaksanaan pemerintah Kolonial Belanda pada peristiwa
“Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Negeri Belanda dari Penjajahan Perancis
Napoleon” pada tanggal 13 November 1913 dengan mewajibkan semua rakyat
Indonesia turut merayakannya dan membiayainya dengan sokongan dari rakyat. Hal
itu dirasa tidak sangat pantas.
Oleh
karena itu, Ki Hadjar Dewantara bersama dokter Cipto Mangunkusumo pada
permulaan Juli 1913, membentuk “Commite tot herdenking van Nederland
Honderjarige Vrijheid” (panitia peringatan 100 tahun kemerdekaan Nederland
yang disingkat “Komisi Bumiputera”), yang bermaksud menyatakan isi hati
memprotes adanya perayaan kemerdekaan tersebut. Brosur protes yang dikeluarkan
oleh Ki Hadjar Dewantara berjudul “als ik eens Nederlander was” atau seandainya
aku seorang Belanda, yang pada intinya memprotes terhadap turut sertanya rakyat
bumiputera yang dijajah merayakan kemerdekaan Negeri Belanda yang menjajahnya.
Akibat
perbuatannya tersebut, Ki Hadjar Dewantara dengan keluarga hidup di
pengasingan, hidupnya disana sangatlah susah karena tidak mendapat bantuan dari
pemerintah Belanda dengan alasan tidak menuruti putusan pembuangan ke Bangka.
Beliau menjadi redaktur majalah “Hindia Putera”, Yaitu majalah
resmi “Indische Vereeniging”. Dan majalah De Indier dari Indische
Partij. Serta terus membantu surat kabar di Indonesia. Selama di Negeri
Belanda, Ki Hadjar Dewantara memperdalam Ilmu pendidikan melalui kursus-kursus
tertulis dan kursus-kursus malam, sehingga mendapat akte guru dalam bidang
jurnalistik, ia memperdalam pengetahuannya dari S. de Roode, pemimpin surat
kabar “De Nieuwe Groene” dalam seni drama belajar dari ahli seni
Herman Kloppers. Sesudah empat tahun kurang satu hari, pada tanggal 17 Agustus
1917, putusan hukuman pembuangan Ki Hadjar Dewantara dicabut, dan boleh kembali
ke tanah air sebagai orang bebas. Setelah pulang dari pembuangan,
Ki
Hadjar Dewantara kembali berjuang. Karena pidato dan tulisan-tulisannya yang
tajam melancarkan kritikan terhadap pemerintahan Kolonial Belanda, maka Ki
Hadjar Dewantara dihukum dua kali, di Semarang, pertama enam bulan dan kedua
tiga bulan satu setengah tahun di Semarang, kemudia pada tahun 1921 pindah ke
Yogyakarta. Oleh pejuang politik dan ahli kebatinan yang bergabung
dalam “sarasehan slasa Kliwon” di Jogjakarta, yang terdiri atas R.M
Sutatmo Suryokusumo dan Ki Hadjar Dewantara, dibahas cara-cara memperjuangkan
kemerdekaan perjuangan-perjuangan harus didasari oleh jiwa merdeka dan jiwa
rasional dari bangsa, dan untuk itu harus dimulai sejak dari anak-anak. Syaratnya
adalah pendidikan nasional dan pendidikan merdeka, yang akan dapat memberi
bekal kuat untuk perjuangan kemerdekaan nasional. maka diputuskanlah bahwa Ki
Hadjar Dewantara, Sutatmo Suryokusumo, Pronodigdo, Suryoputro bertugas di
lapangan pendidikan anak-anak, Ki Ageng Suryomataram dan kawan-kawannya
bertugas di lapangan pendidikan orangtua dengan melaiui gerakan kebatinan yang
disebut “Ngelmu Begjo”, yang bercita-citakan kebahagiaan manusia dan
perdamaian dunia. Langkah awal
dimulai oleh Douwes Dekker yang pada tahun 1920 mendirikan “Ksatriaan Institut”
di Bandung, sebuah sekolah ekonomi, atas dasar pertimbangan bahwa lapangan
pendidikan ekonomi merupakan salah satu bidang yang sangat penting dalam
perjuangan nasional Indonesia yang masih kurang mendapat perhatian. Setelah
mempunyai pengalaman di perguruan “Adhidarmo” milik R.M Suryopranoto, kakaknya
yang terkenal sebagai raja pemogokan, Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli
1922, mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa di Jogyakarta. Sejak saat itu sampai
akhir hayatnya 26 April 1959, Ki Hadjar Dewantara memelihara dan mengasuh Taman
Siswa. Selama itu, Ki Hadjar Dewantara antara lain harus melawan “Wilde
Scholen Ordonantie” (Ordonansi Sekolah Luar) yang sedianya akan
diberlakukan mulai 10 Oktober 1932. Dengan keberanian dan penuh tanggung jawab,
Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 1 Oktober 1932 mengirim telegram penolakan
kepada Gubenur Jenderal, yang menyatakan apabila ordonanssi tersebut jadi
dilaksanakan, Taman Siswa akan mengadakan perlawanan terus dengan cara tenaga
dalam yang pada waktu itu terkenal dengan Lijdelijk verzet, membangkang
tidak mengakui sahnya undang-undang Kolonial yang akan dipaksakan tersebut.
Akhirnya ordonansi tersebut dicabut.
B. Pendidikan yang Dilalui KI Hadjar Dewantara
Sejak
kecil Ki Hadjar Dewantara sudah dididik dalam suasana religius dan dilatih
untuk mendalami soal-soal kesasteraan dan kesenian Jawa. Sejak kecil pula dia
dilatih untuk hidup sederhana. Keterbatasan materil yang dialami keluarganya,
tidak menyurutkan semangat belajarnya. Meskipun ia hanya masuk ke Sekolah Dasar
Belanda III (ELS), ia tetap bersemangat menuntut ilmu.
Ketika
masih duduk di bangku Sekolah Dasar, kehidupan Ki Hadjar Dewantara tidak
berbeda jauh dari kehidupan anak-anak lainnya. Dia juga sering berkelahi dengan
anak-anak sekolah dari keturunan Ambon dan Ondo Belanda. Ia terpaksa berkelahi
dengan rekan-rekan seperjuangannya itu karena mereka menghina dirinya.
Setelah
Tamat Sekolah Dasar III Belanda pada tahun 1904, Ki Hadjar mengalami
kebingungan untuk meneruskan sekolahnya. Ia tidak hanya bingung karena masalah
siapa yang membiayai sekolahnya, tapi juga kemana ia harus meneruskan
sekolahnya. Maklum, keluarganya tidak cukup berada dibandingkan kerabat
Pakualaman yang lain. Selain itu, ayah Ki Hadjar yang cacat netra sejak lahir
juga merupakan suatu alasan tersendiri bagi masalah pendidikannya. Ki Hadjar
memang sempat masuk sekolah guru di Yogyakarta, tapi tidak sampai tamat.
Semasanya
menempuh sekolah guru, datanglah tawaran sekolah (beasiswa) untuk menjadi
dokter jawa dari dokter Wahidin Sudiro Husodo. Kala itu dokter Wahidin sengaja
bertandang ke Pakualaman. Ia menanyakan siapa diantara putra-putra yang mau
masuk sekolah dokter jawa. Kesempatan itu dengan segera diterima Ki Hadjar.
Ki
Hadjar menempuh sekolah dokter jawa (STOVIA) selama kurang lebih lima tahun
(1905-1910). Namun, ia tidak berhasil menamatkan sekolahnya lantaran sakit
selama empat bulan. Selama sakit Ki Hadjar tentu tidak dapat belajar dengan
baik sehingga ia tidak naik kelas. Akibatnya, beasiswanya dicabut. Ia
meninggalkan sekolahnya dengan terpaksa lantaran tidak mampu membiayainya.
C. Terbentuknya Perguruan Taman Siswa
Kondisi sekolah yang ada di tanah
air, MULO dan HIS, yang menguntungkan Pemerintah Kolonial juga menjadi alasan bagi
Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan Perguruan Taman Siswa. Pada masa itu,
putra-putri Indonesia yang sekolah di HIS dididik dengan sistem pendidikan
Pemerintah Kolonial, yang jelas sesuai dengan harapan dan kepentingan mereka.
Konten pelajaran-pelajaraan (bacaan) yang diberikan, misalnya bacaan, baik
secara implisit maupun eksplisit merupakan upaya secara sistematis agar
generasi Indonesia melupakan dan merendahkan diri dan martabat bangsanya
sendiri.
Pemerintah
Kolonial berupaya untuk mengalihkan perhatian generasi Indonesia agar tidak
mengadakan pemberontakan dan mendirikan organisasi atau partai Politik yang
menentang Pemerintah Kolonial. Semua generasi Indonesia yang belajar di HIS
dibentuk sedemikian rupa agar sedapat mungkin tidak menjadi pemimpin bagi
bangsanya, tapi menjadi pegawai (kuli, buruh) Pemerintah Kolonial. Itu berarti
upaya sistematik untuk menjinakkan semangat juang generasi Indonesia,baik dalam
bidang politik maupun jurnalistik.
Kelahiran
Perguruan Taman Siswa jelas menjadi tandingan bagi sekolah-sekolah milik
Pemerintah Kolonial. Perguruan Taman Siswa ini sangat menekankan pendidikan
rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air
dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Kondisi ini tentu menjadi ancaman
bagi Pemerintah Kolonial. Semakin banyak orang yang belajar ke dan tamat dari
Perguruan Taman Siswa, semakin banyak generasi Indonesia yang berani
membangkang dan melawan kebijakan politik Pemerintah Kolonial. Artinya pula,
semakin banyak generasi yang siap menjadi pemimpin, paling kurang untuk dirinya
sendiri, kelompok-kelompok sosial seperti “Paguyuban Selasa Kliwon” itu, bahkan
bisa jadi dalam bentuk Partai Politik sekaliber PNI yang berdiri pada tahun
1927 itu.
Eksistensi
Perguruan Taman Siswa dirasakan Pemerintah Kolonial mulai menjadi ancaman bagi
mereka. Oleh karena itu, mereka mulai mencari-cari alasan untuk menutup
perguruan ini. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa.
Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan
Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Salah satu pasal dalam
undang-undang tersebut dipandang Ki Hadjar Dewantara mengancam eksistensi
sekolah-sekolah swasta sebab berbunyi bahwa Pemerintah Kolonial mempunyai
kekuasaan penuh untuk mengurus ujud dan isi sekolah swasta. Itu berarti seluruh
aktivitas sekolah swasta dan instrumen-instrumennya diatur oleh Pemerintah
Belanda.
Ki Hadjar Dewantara tentu merasa
keberatan terhadap kebijakan ini sebab membatasi secara sepihak setiap
aktivitas sekolah swasta. Kebijakan tersebut bahkan dapat secara sepihak pula
menghentikan seluruh aktivitas sekolah swasta atau memutuskan kelangsungannya.
Artinya, sekolah swasta selain menderita karena tidak mendapatkan subsidi dari
Pemerintah Kolonial, juga dapat gulung tikar. Sebagai penggantinya adalah
menghidupkan lagi ordonansi lama dari tahun 1923/1925. Ketetapan penundaan
Undang-Undang Sekolah Liar 1932 itu telah disahkan Staatsblad 21
Februari 1933, no. 66. Berkat kegigihan Ki Hadjar dalam memperjuangkan
hak-haknya dan dengan dukungan segenap pihak (masyarakat, tokoh-tokoh
masyarakat dan pers) ordonansi itu kemudian dicabut.
Di
tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di
Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari
nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya
berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan
dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Di
zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Setelah zaman kemedekaan, Ki Hadjar Dewantara pernah menjabat
sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki
Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan
pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai
Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun
1959, tanggal 28 November 1959.
D. Konsep Pendidikan Perguruan Taman Siswa
Bangsa ini perlu mewarisi buah
pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Dalam pandangannya, tujuan pendidikan adalah
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku,
budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial serta didasarkan kepada
nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Dasar-dasar pendidikan Barat dirasakan Ki
Hadjar tidak tepat dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia
karena pendidikan barat bersifat regering, tucht, orde (perintah,
hukuman dan ketertiban). Karakter pendidikan semacam ini dalam prakteknya
merupakan suatu perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Akibatnya, anak-anak
rusak budipekertinya karena selalu hidup di bawah paksaan/tekanan.
Menurut
Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka
kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Pendidikan itu membentuk
manusia yang berbudi pekerti, berpikiran (pintar, cerdas) dan bertubuh sehat. Citra
manusia di Indonesia berdasarkan konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara itu :
·
Pertama, manusia Indonesia yang berbudi pekerti
adalah yang memiliki kekuatan batin dan berkarakter. Artinya, pendidikan
diarahkan untuk meningkatkan citra manusia di Indonesia menjadi berpendirian
teguh untuk berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Ekspresi kebenaran itu
terpancarkan secara indah dalam dan melalui tutur kata, sikap, dan perbuatannya
terhadap lingkungan alam, dirinya sendiri dan sesamanya manusia. Jadi, budi
pekerti adalah istilah yang memayungi perkataan, sikap dan tindakan yang selaras
dengan kebenaran ajaran agama, adat-istiadat, hukum positif, dan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
·
Kedua, manusia di Indonesia yang maju pikirannya
adalah yang cerdas kognisi (tahu banyak dan banyak tahu) dan kecerdasannya itu
membebaskan dirinya dari kebodohan dan pembodohan dalam berbagai jenis dan
bentuknya (misalnya: karena rekayasa penjajah berupa indoktrinasi). Istilah
maju dalam pikiran ini menunjukkan meningkatnya kecerdasan dan kepintaran.
Manusia yang maju pikirannya adalah manusia yang berani berpikir tentang
realitas yang membelenggu kebebasannya, dan berani beroposisi berhadapan segala
bentuk pembodohan.
·
Ketiga, manusia di Indonesia yang mengalami
kemajuan pada tataran fisik atau tubuh adalah yang tidak semata sehat secara
jasmani, tapi lebih-lebih memiliki pengetahuan yang benar tentang fungsi-fungsi
tubuhnya dan memahami fungsi-fungsi itu untuk memerdekakan dirinya dari segala
dorongan ke arah tindakan kejahatan. Manusia yang maju dalam aspek tubuh adalah
yang mampu mengendalikan dorongan-doroangan tuntutan tubuh. Dengan dan melalui
tubuh yang maju itu pula pikiran yang maju dan budi pekerti yang maju
memperoleh dukungan untuk mendeklarasi kemerdekaan diri dari segala bentuk
penindasan ego diri yang pongah dan serakah di satu sisi dan memiliki kemampuan
untuk menegaskan eksistensi diri secara beradab sebagai manusia yang merdeka
(secara jasmani dan ruhani) di sisi lain.
E. Tiga Fatwa Pendidikan
Pendidikan nasional menurut paham
Ki Hadjar Dewantara, seperti yang diterapkannya dalam Taman Siswa, ialah
pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari bangsa (kultur nasional) dan
ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang bisa mengangkat derajat negara dan
rakyat. Orientasi globalnya adalah agar rakyat Indonesia dapat bekerja
bersama-sama dengan bangsa-bangsa yang lain untuk kemuliaan manusia di seluruh
dunia. Dalam rangka itu,
F. Asas-Asas Pendidikan Ki Hadjar
Tujuan
ketiga ajaran (fatwa) pendidikan Ki Hadjar di atas berkaitan erat dengan upaya
membentuk pribadi peserta didik menjadi manusia yang manusiawi. Citra manusia
manusiawi dalam konteks dan perspektif pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah
kedewasaan, kearifan, dan kesehatan secara jasmani dan rohani. Pendidikan
terlaksana secara koheren dalam ranah kognitif, afektif, spiritual, sosial dan
psikologis. Kedewasaan peserta didik dalam ranah-ranah tersebut merupakan
jaminan bagi aspek psikomotoriknya, menjadi modal bagi peserta didik untuk siap
menjalani kehidupan bermasyarakat secara bertanggungjawab. Terkait dengan upaya
mengimplementasikan ketiga fatwa tentang pendidikan itu, Ki Hadjar Dewantara
mengajukan lima asas pendidikan yang dikenal dengan
sebutan pancadharma (kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan,
kebangsaan, dan kemanusiaan). Ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai
pendidikan dapatlah kita pandang sebagai terapan operatif. Tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara jika
dilihat dalam pandangan Islam adalah menjadi manusia yang merdeka dan mandiri
sehingga menjadi pribadi yang membuatnya menjadi insan kamil dan mampu memberi
kontribusi kepada masyarakatnya; Konsep Tut Wuri
Handayani yang merupakan bagian dari metode among dalam Islam sama dengan
metode keteladanan, metode kisah, metode nasehat, dan metode targhib dan
tarhid. Pendidikan budi pekerti
Ki Hajar Dewantara dalam Islam sama dengan pendidikan akhlak sehingga seseorang
menjadi manusia yang dapat menghormati dan menghargai manusia lainnya dan dapat
tercipta pendidikan humanistik.
PENUTUP
Bangsa ini perlu mewarisi buah
pemikiran tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa tanpa membedakan
suku, budaya, adat dan lainnya serta harus didasarkan kepada nilai-nilai
kemerdekaan yang asasi. Ajaran yang telah terkenal ialah tut wuri handayani,
ing madya mangun karsa, ing ngarsa sungtalada.
Ki Hajar Dewantara pada masanya
ia membangun sekolah yang bernama Pendidikan Perguruan Taman Siswa, tujuan
pendidikan jika dilihat dalam pandangan Islam adalah menjadi manusia yang
merdeka dan mandiri sehingga menjadi pribadi yang membuatnya menjadi insan
kamil dan mampu memberi kontribusi kepada masyarakatnya
|
DAFTAR PUSTAKA
Jika ingin mendownload dalam bentuk file klik disini
|
No comments:
Post a Comment